Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Buku penelitian mendiang DR Clifford Geertz meski telah terbit lebih dari setengah abad silam --Agama Jawa: Santri Priyayi dan Abangan, tampaknya sedap untuk dikaji kembali dalam situasi masa kini. Dari dahulu banyak peneliti yang mengkritik adanya Tri Kotomi (tiga varian) yang dibuatnya itu.Setidaknya menjadi menarik dibahas hari ini, terutama ketika kata 'santri' menjadi titik perhatian.
Ini makin menarik ketika istilah santri kini semakin gencar dibirakan. Guru Besar Filsafat Kebudayaan Islam Univeritas Paramadina, Prod DR Abdul Hadi WM, menyatakan istilah 'santri' berasal dari kata Sanskerta 'sastri". Sastri artinya dalam bahasa Sanskerta ialah orang yang melajari suatu ajaran (sastra). Jadi kata 'santri' ialah orang yang mempelajari suatu ajaran, dalam hal ni ajaran agama.
Tapi sebagai ilmu bagaimanapun kiranya perlu untuk mengetahui jalan pikiran Geertz yang dahulu menyelesaikan studinya di Universitas Havard pada tahun 1956 itu. Apalagi teori dia, dalam dunia ilmu sosial Indonesia masih menyisakan jejaknya yang begitu tebal hingga sekarang misalnya dengan lestarinya istilah santri, priyayi, dan abangan ketika hendak membahas suasana keagamaan orang Jawa kala itu.
Menurut Geerzt dalam penelitiannya di dekade 1960-an di Mojokuto (Pare), Jawa timur, dia mengatakan ada dua perbedaan umum yang mencolok ketika membahas istilah itu, yakni membahas soal perbedaan santri dan abangan. (Secara sederhana Geertz mengatakan santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam, abangan yang lebih longgar dan tak terlalu taat pada ajaran Islam. Priyayi adalah golongan bangsawan/ningrat yang tak terlalu taat pada ajaran Islam, terpesona pada adat dan kebiasaan yang datang dari leluhur. Namun, dalam tulisan ini lebih menfokuskan pada dua golongan ini, yakni santri dan abangan saja. Alasannya, ini karena dua golongan ini lebih eksis saja.
Pertama. kalanganan abangan adalah merupakan varian masyarakat Jawa mereka yang tidak benar-benar tidak acuh terhadap doktrin (agama IslamI tetapi terpesona oleh detil keupacaraan (adat). Sementara di kalangan santri merupakan varian masyakat di Jawa yang memberikan perhatian terhadap doktrin (ajaran agama Islam). Dan itu dicirikan bila disebut sebagai seorang abangan maka orang tersebut harus tahu kapan harus menyelenggrakan 'slametan' (ritual adat dan kebiasaan budaya). Golongan ini mrmiliki toleransi kepercayaan agama: Katanya jalan (Tuhan) itu memang banyak).
Kata Geertz, itulah yang membedakannya dengan varian dari kalangan santri. Varian masyarakat Jawa ini fokus terhadap peribadatan pokok keagamaan yang penting. Ini khususnya pada sisi pelaksanaan sembahyang (shalat) yang merupakan tanda istimewa untuk menyebut seorang santri.
Tentu saja, sikap reletivisme kaum abangan tidak terlihat dikalangan santri. Sebab, santri mempunyai sikap penekanan kuat terhadap keharusan iman serta sikap tidak toleran terhadap kepercayaan dan praktik adat yang mereka anggap sebagai heterododoks.
Selain itu, lanjut Geertz, perbedaan kedua yang jelas antara varian abangan dan santri terletak pada masalah organisasi sosial mereka. Abangan mendasarkan pada unit sosial paling dasar yakni rumah tangga pria, isterinya, dan anak. Sedangkan santri mendasarkan pada rasa sebagai satu komunitas (umat) sebagai hal utama.
Santri melihat Islam sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris, komunitas yang semakin lama semakin lebar dari lokal hingga internasional. Santri juga tidak pernah memandang agama sebagai serangkaian kepercayaan semata-mata, sejenis filsafat yang abstrak,
Sedangkan dari sisi organisasi, lanjut Geerftz, kaum santri berpusat di empat lembaga sosial yang utama. Pertama, partai politik Islam berikut organisasi sosial dan amalnya. Kedua, sekolah agama. Ketiga, lembaga birokrasi pemerintah. Keempat struktur lembaga keagamaan.
Dan terhadap adanya Trikotomi itu, memang sudah lama mendapat kritik yang telak dari mendiang Gur Besar UI, Prof DR Harya Bachtiar. Menurut Harsya, Geerz tidak menegaskan apakah ia hendak menegaskan komplek-kompleks kepercayaan dan ritual keagamaan tertentu ataukan kepercayaan dan ritual keagamaan dari kategori-kategori tertentu dalam masyarakat.
Hal ini karena seorang yang dianggap taat dalam beragama atau santri oleh seorang lain, tidak dengan sendirinya akan dianggap santri pula oleh orang yang berbeda. Dalam hal priyayi misalnya harus dibedakan antara status yang mereka dapatkan secara hukum dan status karena pergaulan.
Di lain pihak, kata Harsya, Geertz juga gagal membedakan adat dengan agama. Adanya perbedaan ini bila tidak disadari oleh orang maka akan melahirkan penafsiran keliru tentang fenomena empiris tertentu yakni adanya kenyataan bahwa agama itu berbeda dengan adat. Alhasil harus dibedakan antara pola perilaku pemenuhan norma-norma adat dengan pola perilaku yang ditimbulkan oleh norma yang berasal dari dan berkaitan langsung dengan satu sistem kepercayaan tertentu.
Jadi menurut Harsya, kepercayaan-kepercayaan agama, nilai-nilai dan norma priyayi pada dasarnya tidak berbeda dari yang terdap pada kalangan bukan priyayi. Namun dengan mengecualikan hal-hal yang berkaitan dengan Islam, priyayi mampu mengungkapkan kepercayaan dan nilai-nilai mereka secara lebih nyata dan dengan demikian mempunyai tradisi agama yang lebih maju dan lebih 'sophisticiated'. Sedangkan tradisi yang terdapat di kalangan rakyat biasa mempunyai bentuk-bentuk yang lebih kasar.
Mengomentari hasil kajian tersebut, Jurnalis senior alumni FISIP UI, Ramadhani Akrom, mengatakan semenjak buku terbit dalam bahasa Indonesia pada tahun 1985 oleh penerbit Pustaka Jaya, karya Geertz itu banyak dikritik oleh ilmuwan sosial seperti mendinag Prof DR Harysa Bachtiar itu. Kala itu sudah banyak para lmuwan sosial Indonesia lainnya yang mengatakan bila penelitian tersebut sebagai tidak akurat.
''Pada zaman saya kuliah kritikan itu datang antara lain dari dosen saya, Prof DR Harsya Bachtiar dan Prof DR Selo Sumardjan. Geertz sendiri jauh sebelum matinya mengakui ketidakakuratan itu,'' katanya.
Menurut Ramadhani, dalam kuliahnya tentang perubahan sosial dalam masyarakat, Harsya Bachtiar mengatakan ada persoalan salah presepsi yang serius dari penelitian Clifford Geertz tersebut. "Dalam mata kuliahnya dahulu, Pak Harsya mengatakan varian abangan dan santri itu merujuk pada agama orang Jawa. Sedangkan priyayi adalah merujuk pada soal strafikikasi sosial antara 'wong gedhe' (orang besar/ningrat) dan 'wong cilik' (masyarakat biasa). Sama dengan Pak Harsya yang mengajar mata kuliah sosiologi, guru besar Antropologi UI dan menjadi dosen saya, yakni Prof DR TO Ihromi, juga mengatakan hal yang sama,'' ujarnya.
Jadi, lanjut Ramadhani, sebagai sebuah pisau analisa buku itu sampai kini memang masih dipakai sebagai referensi atau bahan kajian mengenai sosiologi dan antropologi masyarakat Jawa. Namun, sebagai sebuah data, informasi yang ada di dalamnya sudah jauh ketinggalan zaman seiring dengan perubahan masyralat.
"Dengan kata lain informasi soal Trikotomi dari hasil penelitian Geertz soal sisi keagamaan masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan agama Islam sudah basi. Anak sekarang mengatakan sudah 'jadul','' tegasnya.
Sama dengan Ramadhani, mendiang DR Nurcholish Madjid juga mengkritik hasil penelitian Geertz itu. Dalam salah satu ceramahnya dia mengatakan 'tri kotomi' itu ternyata terbukti tidak 'kaku' alias cair. Sebab faktanya ternyata di tahun 1990 pembagian ini mencair. Bahkan, baik varian priyayi dan abangan kemudian menjadi satu melebur menjadi santri.
''Ini juga menjadi cermin perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia betapa semuanya bisa jadi santri akhirnya. Bahkan, orang Jawa sering menjadi santri atau taat beragama seiring dengan kematangan usianya. Contohnya bisa saja Pada Pak Harto yang bergerak dari abangan, priyayi, dan kemudian menjadi santri dan naik haji,'' kata Nurcholis.
Bukan hanya itu, lanjut Nurcholish, perubahan sosial itu juga terjadi karena adanya pemerataan pendidikan. Anak-anak santri seusai datangnya zaman kemerdekaan mendapat kesempatan pendidikan lumayan baik. Pada awal kemerdekaan generasi mereka memang hanya tamat sekolah dasar. Tapi mulai tahun 1970 generasi ini mulai tamat sarjana. Sepuluh tahun 1980-an atau 10 tahun kemudian generasi ini sudah menjadi doktor.
''Jadi memang terjadi perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia sesuai perkembangan zaman. Dan situasi ini lumrah terjadi dan konsekuensi zaman. Sekarang kita melihat santri ada di mana-mana. Ibadah shalat sudah menjadi hal jamak di nator dan mall. Ucapan asalamu'alaikum menjadi lazim,'' kata mendiang Nurcholish. Pendapat ini sama dengan kajian Abdul Hadi WM yang juga mengatakan pembagian Geertz itu kurang benar. Sebab, banyak priyayi itu abangan dan banyak pula yang tergolong santri.
Sejarawan Australia Mc Ricklefs dalam bukunya 'Mengislamkan Jawa' mengatakan hal yang senada. Menurutnya, masyarakat Jawa kini sudah begitu dalam penghayatannya terhadap Islam. Ini misalnya tampak jelas dengan meluasnya pengajian dan penggunaan jilbab semua kini bisa menelusup ke segenap pelosok pedesaan dan masyarakat di Jawa. Bahkan, situasi ini menurut Ricklefs tidak ada kemungkinan untuk berbalik kembali.
Maka masih relevankah membicarakan sebutan santri, priyayi, dan abangan di tengah zaman yang sudah berubah? Ataukah ini hanya bagian mode pemikiran saja sebagai imbas kegenitan atas situasi sosial politik di Jawa dan di Indonesia pada umumnya?
Komentar
Posting Komentar