Langsung ke konten utama

Apa Yang Di Maksud "Bala'' Dalam Al Qur'an?

Dalam pandangan manusia, konsep “bala’” selalu berkonotasi buruk yaitu berupa keburukan yang lazim dikenal dengan musibah dalam arti negatif. Dengan demikian bala’ selalu dihindari bahkan dihilangkan dari kehidupan, karena dinilai menyengsarakan dan menyedihkan bagi manusia. Ketika merujuk pada al-Quran, kata bala sesungguhnya lebih bermakna sebagai cobaan untuk memperteguh keimanan yang bisa berupa peristiwa yang menyedihkan atau menyenangkan.

Allah berfirman: Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang burukburuk, agar mereka kembali (kepada kebenaran) [Q.S. al-A’raf (7): 168].

Mengacu pada ayat di atas maka kata bala merupakan sebuah ujian atau cobaan baik yang berupa kebaikan (alḥasanat) ataupun yang berupa keburukan (al-sayyi’at), baik yang datang dari kejadian di alam semesta (gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain-lain) atau dari diri sendiri dan sosial kemasyarakatan (sakit, kerusuhan, kekurangan, dan lain-lain). Dengan demikian, tidak tepat kalau kata bala hanya diartikan dengan sebuah peristiwa yang menyedihkan saja. Peristiwa yang menyenangkan juga merupakan bala, yakni ujian bagi kehidupan manusia. Kalau mengacu pada sifat raḥman dan raḥīm Allah, konsep bala merupakan sebuah citra yang diberikan oleh Allah untuk menjadikan manusia selalu dekat dan dipenuhi kasih dan sayang Allah. Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan QS. al-A’raf [7]: 168 di atas, orientasi utama dari bala adalah supaya kembali kepada kebenaran, kembali pada kasih dan sayang Allah.

Bala tidak hanya diberikan kepada orang yang durhaka (tidak salih) saja, namun juga kepada orang salih. Karena fungsinya untuk “mengembalikan” pada kebenaran, bala menjadi ukuran sikap manusia dalam menghadapinya. Jika manusia berhasil mensikapi bala maka dia menjadi hamba terkasih dari Allah. Begitu sebaliknya, jika dia tidak berhasil mensikapi bala dengan baik, maka dia termasuk orang yang perlu mendapatkan ujian lebih banyak lagi.

Dalam hadis: Dari Anas, ia berkata. Rasulullah Saw bersabda: “… Sesungguhnya besarnya pahala adalah karena besarnya ujian. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridha, maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barangsiapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka” [HR. al-Tirmiżi].

Allah telah memberikan penjelasan bahwa dalam mensikapi bala terdapat dua pilihan, syukur dan sabar. Ketika bala berbentuk kebaikan (ḥasanat), maka tujuannya adalah kesyukuran, yakni sebuah sikap yang menggambarkan kedekatan dengan kasih dan sayang Allah [Q.S. an-Naml (27): 40] dalam bentuk menggunakan anugerah untuk memberi kemanfaatan lebih kepada seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan Allah. Begitu sebaliknya, jika bala berupa keburukan, maka tujuannya adalah kesabaran [Q.S. al-Baqarah (2): 155-157], yakni sebuah sikap yang menggambarkan kedekatan dengan kasih dan sayang Allah. Sikap sabar juga dapat diwujudkan dalam bentuk mengambil nilai positif dan pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi, dengan terus berusaha memperbaiki diri untuk menjadi yang lebih baik. Dengan demikian sabar bermakna aktif dan tidak menyerah pada keadaan yang diterima.

Penilaian baik (hasanat) dan buruk (sayyi’at), sekali lagi, merupakan penilaian oleh manusia tentang sesuatu peristiwa. Allah Swt. selalu baik, adil, dan hebat, sehingga apapun yang dilakukan selalu baik. Ke-Maha Baik-an Allah selalu tercurahkan dalam membina dan memelihara seluruh makhluk-Nya. Inilah esensi Allah sebagai rabb yang raḥman dan raḥīm. Penilaian buruk atas bala yang dipahami oleh manusia merupakan penilaian yang didasarkan pada kesadaran labil manusia [Q.S. al-Ma’arij (70): 19-21]. Manusia seperti ini merupakan manusia yang dikendalikan oleh nafsu yang tidak tercerahkan oleh kasih sayang Allah [Q.S. Yūsuf (12): 53].

Dalam doktrin tauhid, kehidupan manusia merupakan anugerah yang besar dari Allah. Dalam pandangan Allah, anugerah selalu baik karena Allah adalah rabb yang Maha Baik (raḥmah). Namun, karena Allah “berbicara” dalam kesadaran manusia, di mana manusia telah menilai sesuatu menjadi baik dan buruk, maka Allah menyebut anugerah tersebut dengan konsep bala’ yang berupa kebaikan (ḥasanat) dan keburukan (sayyi’at). Dalam Q.S. al-A’raf (7): 168 dan al-Anbiya’ (21): 35 Allah menegaskan bahwa anugerah apapun yang diberikan kepada manusia merupakan bala’ (ujian kehidupan) supaya manusia mengetahui hakikat kebenaran itu hanya dari Allah.

Dengan demikian, bala yang berupa keburukan adalah bala yang lazim dikenal dengan istilah bencana. Dengan kata lain bencana adalah bala’ yang berupa keburukan yang menimpa manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk, Faktor, Dampak, dan Solusinya

Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk, Faktor, Dampak, dan Solusinya  Kesenjangan sosial merupakan suatu kondisi dimana ada hal yang tidak seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Entah itu secara personal maupun kelompok. Dimana ada ketimpangan sosial yang terbentuk dari sebuah ketidakadilan distribusi banyak hal yang dianggap penting oleh masyarakat. Kesenjangan tersebut seringkali dikaitkan dengan adanya suatu bentuk perbedaan yang sangat nyata serta dapat dilihat dalam segi keuangan masyarakat, seperti kekayaan harta. Terlebih untuk hal kesenjangan dalam bidang ekonomi. Sekarang ini sangat mudah dilihat dari adanya potensi serta peluang yang tidak sama dalam posisi sosial di masyarakat. Selain hal di atas, kesenjangan juga dapat dilihat dari adanya ketidaksetaraan antara barang, jasa, hukum, dan kesempatan yang didapatkan oleh setiap individu. Pengertian Kesenjangan Sosial Menurut Para Ahli Supaya kita lebih memahami apa arti kesenjangan sosial. Maka Penulis akan memberikan informas

Islam Dan Pancasila

Islam Dan Pancasila Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Membuat kategori antara Islam dan Pancasila sebagaimana dalam judul tulisan ini sebenarnya kurang tepat. Ketika membuat kategori dengan menyebut Islam, maka yang seharusnya disebut pula adalah jenis agama lain, misalnya Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan seterusnya. Sementara itu, ketika menyebut pancasila, maka yang disebut lainnya, agar kategori itu sekufu, adalah sosialis, komunis, liberalis, dan lain-lain. Islam adalah sebuah agama, sementara itu Pancasila adalah merupakan filsafat hidup dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam negara Pancasila, Islam bisa hidup dan berkembang, bahkan sangat diperlukan. Demikian pula, konsep Pancasila akan menjadi semakin jelas ketika masyarakatnya menjalankan agamanya masing-masing. Mendasarkan pada konsep Pancasila, negara berkepentingan menjadikan rakyatnya beragama. Itulah sebabnya sekalipun negara ini bukan berdasarkan agama, tetapi menghendaki agar rakyatnya menjalanka

Pengertian Masyarakat Serta Ciri dan Unsur - Unsurnya Menurut Para Ahli

Pengertian Masyarakat Menurut Para Ahli Serta Ciri & Unsur-Unsurnya Ada beragam pengertian masyarakat menurut para ahli sosiologi dan antropologi. Selain itu, setidaknya ada 6 ciri-ciri masyarakat. Berikut selengkapnya. Pengertian masyarakat dalam ilmu sosial bisa dilihat dalam penjelasan sejumlah ahli, baik dari disiplin ilmu antropologi maupun sosiologi. Manusia hidup beriringan dengan kebudayaan. Dengan berkelompok, manusia berhasil membentuk satuan sosial-budaya yang kemudian mendapat sebutan masyarakat. Istilah "masyarakat" berasal dari bahasa Arab, yakni berakar dari kata " syaraka"  yang berarti "ikut serta, berpartisipasi." Sementara di bahasa Inggris, istilah "masyarakat" disebut dengan " society " yang berasal dari kata latin "socius," berarti "kawan." Pengertian Masyarakat Salah satunya penjelasan ahli antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Dalam buku karyanya yang berjudul  Pengantar Ilmu Antropolog