Langsung ke konten utama

Wudhu ( Bahas Tuntas )

HUKUM BERSIWAK KETIKA BERWUDHU

HADITS KE-32

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ – أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وأَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena khawatir akan menyusahkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Malik, Ahmad, dan An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah). [HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 1:66,115 secara mauquf, sampai pada sahabat, dan Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan bahwa hadits ini marfu’, sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Ahmad, 16:22; An-Nasai dalam Al-Kubra, 3:291; Ibnu Khuzaimah, 140. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:138-139].

 

Faedah hadits

  1. Dianjurkan (disunnahkan) untuk bersiwak, bukan wajib.
  2. Disunnahkan untuk bersiwak setiap kali berwudhu.
  3. Ada pendapat yang menyatakan bahwa bersiwak itu bisa dilakukan sebelum berwudhu, yaitu bersiwak dahulu lalu berwudhu. Inilah pendapat sekelompok ulama Hanafiyah, pendapat Malikiyah, dan pendapat Syafiiyah. Adapun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa bersiwak dilakukan ketika berkumur-kumur, yaitu saat berkumur-kumur dibarengkan dengan bersiwak. Namun, kalau lihat dari praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersiwak itu dilakukan sebelum berwudhu.
  4. Hukum asal kalimat perintah menunjukkan wajib kecuali ada dalil yang meniadakan hukum wajib.

Syaikh Dr. Labib Najib dalam Tahqiq Ar-Raghabaat bi At-Taqasim wa At-Tasyjiiraat li Thalabah Al-Fiqh Asy-Syafii (hlm. 14) menyatakan mengenai hukum bersiwak sebagai berikut:

Pertama, hukumnya wajib yaitu ketika bernadzar untuk bersiwak.

Kedua, hukumnya mustahab (sunnah), itulah hukum asalnya. Hukum sunnah ini dalam beberapa keadaan:

  1. Jika berubah bau mulut.
  2. Jika baru bangun tidur.
  3. Ketika berwudhu, akan shalat, dan membaca Al-Qur’an.

Ketiga, hukumnya makruh, yaitu setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat) bagi orang yang berpuasa.

Keempat, hukumnya haram, jika menggunakan siwak milik orang lain tanpa izin atau tanpa diketahui keridaannya.

 

TATA CARA WUDHU NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

HADITS KE-33

وَعَنْ حُمْرَانَ; – أَنَّ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ, فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ مَضْمَضَ, وَاسْتَنْشَقَ, وَاسْتَنْثَرَ, ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Humran rahimahullah, bahwa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu meminta untuk diambilkan air wudhu. Lalu beliau mencuci kedua telapak tangannya, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali, lalu membasuh wajahnya tiga kali, mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, dan demikian juga tangan kiri, kemudian mengusap kepala, kemudian mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, dan demikian juga kaki kiri, lantas berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberwudhu seperti wudhu yang telah aku lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 159 dan Muslim, no. 226]

 

Faedah hadits

  1. Madh-madhah artinya berkumur-kumur, memutar-mutar air dalam mulut. Istinsyaq berarti menarik air dengan nafas ke bagian dalam hidung. Istintsar berarti mengeluarkan air dari hidung.
  2. Batasan muka adalah dari tempat tumbuhnya rambut normal di depan sampai janggut dan dagu, ini secara tegak lurus. Sedangkan dari lebarnya, muka itu adalah dari telinga ke telinga.
  3. Masaha artinya mengusap dengan tangan cukup dibasahkan. Batasan kepala adalah bagian tumbuh rambut dari depan hingga tengkuk.
  4. Hadits ini menerangkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna.
  5. Boleh meminta tolong untuk menghadirkan air wudhu. Termasuk yang dibolehkan adalah menuangkan air pada orang yang berwudhu.
  6. Tata cara wudhu yang dipraktikkan Utsman adalah secara praktik, bukan ucapan. Praktik ini lebih cepat memahamkan.
  7. Tata cara wudhu yang disampaikan oleh Utsman adalah: mencuci telapak tangan tiga kali, berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung), istintsar (mengeluarkan air dari hidung), mencuci wajah tiga kali, kemudian mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, lalu mencuci tangan kiri demikian pula, kemudian mengusap kepala, lalu mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, lalu kaki kiri sebanyak tiga kali pula. Inilah tata cara wudhu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  8. Mencuci telapak tangan sebanyak tiga kali dihukumi sunnah, bukan wajib.
  9. Disunnahkan ketika mencuci muka, mencuci kedua tangan, mencuci kaki dilakukan sebanyak tiga kali.
  10. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dilakukan sebanyak tiga kali berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Zaid.
  11. Boleh membasuh anggota wudhu yang satu dan lainnya tidak sama, yaitu ada yang dibasuh sekali, ada yang dua kali, ada yang tiga kali. Hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid.
  12. Tidak boleh membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.
  13. Disunnahkan shalat dua rakaat bakda wudhu agar mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu (menurut jumhur ulama: ampunan dosa kecil). Hal ini dilakukan dengan cara: (a) berwudhu sempurna seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam praktikkan; (b) melakukan shalat sunnah dua rakaat bakda wudhu asalkan ia konsentrasi dan tidak memikirkan hal-hal di luar shalat.

 

MENGUSAP KEPALA CUKUP SEKALI

HADITS KE-34

وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ وُضُوءِ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: – وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد َ

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan sekali usap.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, dengan sanad yang sahih. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling sahih dalam masalah ini). [HR. Abu Daud, no. 111; An-Nasai secara ringkas, 1:68. Hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:153].

 

Faedah hadits

Hadits ini menunjukkan bahwa kepala diusap sekali saja, tidak tiga kali sebagaimana basuhan lainnya. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, dan yang sahih dari Hambali. Sedangkan ulama Syafiiyah menyatakan bahwa mengusap kepala itu tiga kali.

 

Catatan: Membasuh dan mengusap anggota wudhu tiga kali bukanlah wajib dalam madzhab Syafii, masih bisa dilakukan sekali atau dua kali, seperti itu boleh. Namun, lebih afdalnya melakukan tiga kali. Adapun lebih dari tiga kali itu dimakruhkan. Para ulama sepakat bahwa yang wajib adalah sekali dalam membasuh atau pun mengusap. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:80-81.

 

CARA MENGUSAP KEPALA DARI HADITS ‘ABDULLAH BIN ZAID

HADITS KE-35

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ عَاصِمٍ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ-قَالَ: – وَمَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita tentang tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari depan ke belakang lalu kembali lagi ke depan.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 186 dan Muslim, no. 235]

وَفِي لَفْظٍ: – بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّرَدَّهُمَا إِلَى اَلْمَكَانِ اَلَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Dalam lafaz lain disebutkan, “Beliau mulai mengusap dengan kedua tangan dari bagian depan kepala hingga ke tengkuk, lalu menariknya hingga kembali ke tempat memulai.”

 

Faedah hadits

  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengusap seluruh kepala itu wajib. Inilah pendapat Malik dan masyhur dari Imam Ahmad, juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir. Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa mengusap kepala itu cukup sebagian. Menurut ulama Syafiiyah, selama disebut mengusap walaupun sedikit, maka sudah sah.
  2. Dalam hadits ini dijelaskan cara mengusap kepala, dimulai dari bagian depan, lalu ditarik dengan tangan ke tengkuk, kemudian dikembalikan lagi ke tempat awal dimulai. Bisa juga dilakukan dengan menarik dari belakang hingga ke bagian depan kepala lalu ditarik lagi ke belakang.
  3. Hukum asalnya, cara mengusap kepala untuk muslimah sama dengan laki-laki.

 

TATA CARA MENGUSAP TELINGA

HADITS KE-36

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ- قَالَ: – ثُمَّ مَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ اَلسَّبَّاحَتَيْنِفِي أُذُنَيْهِ, وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita tentang tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuk ke lubang telinga lalu mengusap bagian luar dua telinga tersebut dengan ibu jari.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 135; An-Nasai, 1:88; Ibnu Majah, 1:146; Ahmad, 11:277; Ibnu Khuzaimah, 1:89. Hadits ini punya penguat—syawahid–yang bisa mengangkat hingga derajat sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:163-164].

 

Faedah hadits

  1. Telinga itu diusap, bukan dibasuh (dicuci).
  2. Telinga itu bagian dari kepala menurut jumhur (mayoritas) ulama. Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa dua telinga itu bagian dari kepala. Namun, hadits ini punya cacat menurut para ulama.
  3. Cara mengusap telinga adalah dengan memasukkan jari telunjuk pada lubang telinga untuk mengusap bagian dalam, lalu jari jempol yang mengusap bagian luar. Ini dilakukan untuk membersihkan telinga pada bagian luar dan dalam.

 

DISYARIATKAN MEMBERSIHKAN HIDUNG KETIKA BANGUN DARI TIDUR

HADITS KE-37


وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا, فَإِنَّ اَلشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian terbangun dari tidurnya, hendaklah ia istintsar (mengeluarkan air dari hidung setelah menghirupnya), dilakukan sebanyak tiga kali. Karena setan bermalam di dalam lubang hidungnya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 3295 dan Muslim, no. 238]

 

Faedah hadits

  1. Wajib melakukan istintsar setelah bangun tidur malam. Lafaz dalam hadits ini dengan lafaz perintah, asalnya menunjukkan wajib. Istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung yang sebelumnya dilakukan istinsyaq (menghirup air ke hidung). Namun, jumhur ulama (mayoritas) menganggap hukum perbuatan ini sunnah.
  2. Perintah untuk istintsar adalah karena setan bermalam di bagian dalam hidung. Sebagai muslim, tugas kita hanyalah mengimani hal semacam ini.

 

MENCUCI TANGAN SETELAH BANGUN TIDUR SEBELUM MENCELUPKAN DALAM BEJANA

HADITS KE-38

وَعَنْهُ: – إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسُ يَدَهُ فِي اَلْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِم ٍ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, “Jika salah seorang di antara kalian terbangun dari tidurnya, janganlah ia mencelupkan kedua tangannya ke dalam bejana air hingga ia mencucinya terlebih dahulu tiga kali, sebab ia tidak tahu apa yang dipegang tangannya tadi malam.” (Muttafaqun ‘alaih, lafaz ini dari Muslim). [HR. Bukhari, no. 162 dan Muslim, no. 278]

 

Faedah hadits

  1. Dilarang seseorang mencelupkan telapak tangannya ke dalam wadah jika bangun dari tidur sampai dicuci tiga kali. Menurut madzhab Imam Ahmad ini wajib cuci tangan, sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama dihukumi sunnah, larangan yang ada adalah larangan makruh.
  2. Jika yakin di tangan ada najis, wajib tangan tersebut dicuci sebelum dicelupkan dalam wadah.
  3. Yang dimaksud dengan bangun tidur yang diperintahkan mencuci tangan sebelum dicelupkan adalah bangun tidur malam. Dalam lafaz lain disebutkan, “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidur malam.” (HR. Abu Daud, no. 103; Tirmidzi, no. 24. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).
  4. Yang sahih dari dua pendapat ulama yang ada, jika ada yang bangun tidur lalu mencelupkan tangannya ke dalam air sebelum tangan tersebut dicuci, air tersebut tidaklah najis. Air tersebut tetap suci. Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

 

MENYEMPURNAKAN WUDHU

HADITS KE-39

وَعَنْ لَقِيطِ بْنُ صَبِرَةَ, – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – أَسْبِغْ اَلْوُضُوءَ, وَخَلِّلْ بَيْنَ اَلْأَصَابِعِ, وَبَالِغْ فِي اَلِاسْتِنْشَاقِ, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

وَلِأَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةٍ: – إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

Dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, selingilah sela-sela jarimu, dan masukkan air ke dalam hidungmu dengan sungguh-sungguh kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” (Dikeluarkan oleh imam yang empat, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Dikeluarkan pula oleh Abu Daud, riwayatnya: jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah) [HR. Abu Daud, no. 142; Tirmidzi, no. 38; An-Nasai, 1:66; Ibnu Majah, no. 448; Ibnu Khuzaimah, 150, 168. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih, disahihkan pula oleh Ibnu Al-Qaththan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:175]

 

Faedah hadits

  1. Asbighil wudhu (menyempurnakan wudhu) ada dalam dua bentuk: (a) wajib, yaitu menyempurnakan yang wajib dibasuh; (b) sunnah, yaitu menyempurnakan wudhu lebih dari kadar wajib, misal membasuh dua atau tiga kali.
  2. Menyela-nyela jari dihukumi sunnah menurut jumhur (kebanyakan) ulama, bukanlah wajib. Namun, jika air sudah sampai pada sela-sela jari tanpa digosok-gosok, sudah sah. Akan tetapi, jika tidak sampai pada sela-sela jari selain dengan cara menggosok-gosok (menyela-nyela), hukumnya menjadi wajib. Dalam ayat hanya diperintahkan untuk mencuci.
  3. Diperintahkan untuk sungguh-sungguh saat menghirup air ke hidung kecuali kalau dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air bisa masuk dari hidung ke dalam sehingga merusak puasa.
  4. Para ulama menyamakan memasukkan air ke hidung dengan berkumur-kumur, berarti kita diperintahkan pula untuk berkumur-kumur dengan sungguh-sungguh kecuali saat berpuasa.
  5. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, hukumnya sunnah (bukan wajib). Siapa yang meninggalkannya, wudhunya tetap sah. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir.
  6. Para ulama berdalil dengan hadits ini adanya kaedah “sadd adz-dzaroi’” yaitu mencegah hal mubah menuju suatu yang diharamkan. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berlebih-lebihan saat istinsyaq (memasukkan air ke hidung). Berlebih-lebihan di sini dapat merusak puasa, maka terlarang.
  7. Dari hadits ini juga kita simpulkan kaedah “dar-ul mafasid awla min jalbil mashaalih” yaitu mencegah kerusakan lebih utama dari meraih maslahat. Bersungguh-sungguh saat istinsyaq itu suatu maslahat. Namun, jadi bermasalah jika hal itu dilakukan saat berpuasa. Maka berlebih-lebihan ini dilarang. Maslahat ini ditinggalkan, tetap istinsyaq saat berpuasa, tetapi tidak berlebihan.

 

HUKUM MENYELA-NYELA JENGGOT

HADITS KE-40

وَعَنْ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِي اَلْوُضُوءِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela air ke jenggotnya ketika berwudhu. (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Tirmidzi, no. 31; Ibnu Khuzaimah, 151, 152. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa pernyataan sahih karena memandang syawahid, penguat dari hadits lainnya. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:182].

 

Faedah hadits

  1. Takhlil pada jenggot maksudnya adalah memasukkan jari saat menyela-nyela jenggot sehingga air masuk sampai pada pangkal rambut.
  2. Disyariatkan menyela-nyela jenggot ketika wudhu. Ini berlaku jika jenggot lebat (menutupi kulit). Adapun jenggot yang tipis yang tidak sampai menutupi kulit, maka wajib dicuci, termasuk pula kulitnya.
  3. Menurut Ibnul Qayyim menyela-nyela jenggot di sini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang. Jadi yang sesuai sunnah adalah kadang dilakukan dan kadang ditinggalkan.

 

DISYARIATKAN MENGGOSOK-GOSOK ANGGOTA WUDHU

HADITS KE-41

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدٍ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – أُتِىَ بِثُلُثَيْ مُدٍّ, فَجَعَلَ يَدْلُكُ ذِرَاعَيْهِ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdiberi 2/3 mud, lantas beliau menggosok kedua sikunya. (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ahmad, 26;370; Ibnu Khuzaimah, no. 118. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:185].

 

Faedah hadits

  1. Disunnahkan tidak banyak-banyak menggunakan air saat berwudhu, begitu pula ketika mandi. Inilah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Satu mud adalah ukuran penuh dari dua telapak tangan dikumpulkan dari tangan orang pertengahan.
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud, beliau mandi dengan satu sha’ (empat mud) hingga lima mud, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas.
  4. Disunnahkan menggosok-gosok anggota wudhu. Hukum sunnah ini menurut jumhur (kebanyakan) ulama.

 

DISYARIATKAN MENGAMBIL AIR BARU UNTUK MENGUSAP KEPALA

HADITS KE-42

وَعَنْهُ, – أَنَّهُ رَأَى اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَأْخُذُ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلَافَ اَلْمَاءِ اَلَّذِي أَخَذَ لِرَأْسِهِ. – أَخْرَجَهُ اَلْبَيْهَقِيّ ُ

Dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil untuk kedua telinga dengan air yang berbeda dipakai untuk kepala. (HR. Al-Baihaqi) [HR. Al-Baihaqi, 1:65, ini riwayat yang syadz, tidak sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:188].

وَهُوَ عِنْدَ “مُسْلِمٍ” مِنْ هَذَا اَلْوَجْهِ بِلَفْظٍ: وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرَ فَضْلِ يَدَيْهِ, وَهُوَ اَلْمَحْفُوظ ُ

Menurut Imam Muslim, ia riwayatkan dengan lafazh, “Dan beliau mengusap kepalanya bukan dengan sisa air di kedua tangannya.” Lafazh ini adalah lafazh yang mahfuzh (sahih). [HR. Muslim, no. 236]

 

Faedah hadits

  1. Mengusap telinga yang tepat adalah dengan air yang tersisa dari mengusap kepala, tidak mengambil air baru.
  2. Mengusap kepala adalah dengan air baru, tidak menggunakan air dari sisa di tangan sebelumnya. Tangan adalah anggota wudhu yang berdiri sendiri berbeda dari kepala. Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

 

CAHAYA DARI BEKAS WUDHU

HADITS KE-43

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – “إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan wajah, tangan dan kakinya nampak bercahaya karena adanya bekas wudhu. Barangsiapa di antara kalian dapat memperpanjang cahaya tersebut, hendaklah ia melakukannya.” (Muttafaqun ‘alaih, lafazh ini dari Muslim) [HR. Bukhari, no. 136 dan Muslim, no. 246, 35]

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan keutamaan dan pahala yang besar dari berwudhu.
  2. Inilah yang jadi sebab perbedaan umat Muhammad dari umat lainnya. Perbedaan umat Islam pada hari kiamat adalah dari kilaunya wajah, tangan, dan kaki mereka.
  3. Yang menjadi keistimewaan umat Islam adalah bukan perbuatan wudhunya karena wudhu sudah ada pada umat sebelum Islam. Yang menjadi keistimewaan umat Islam adalah adanya ghurron muhajjalin (bekas wudhu yang nampak pada wajah, tangan, dan kaki).
  4. Bolehkah menambah membasuh lebih dari batasan yang wajib saat berwudhu, misalnya, membasuh lebih dari siku tangan atau mata kaki? Ada perbedaan ulama dalam hal ini. Yang tepat adalah tidak menambah lebih dari kadar wajib.
  5. Perkataan dalam hadits “Barangsiapa di antara kalian dapat memperpanjang cahaya tersebut, hendaklah ia melakukannya”, itu adalah mudraj (sisipan keterangan) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk menjelaskan maksud hadits. Kaidahnya, tafsiran perawi selama tidak menyelisihi tekstual (zhahir) dari hadits, maka wajib diterima. Namun, jika menyelisihi, berarti tak bisa diterima. Sedangkan kalau kita lihat pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidaklah melakukan wudhu melebihi batasan wajibnya. Berarti ketika membasuh lengan hanyalah sampai siku, dan ketika membasuh kaki hanyalah sampai mata kaki.

 

MENDAHULUKAN YANG KANAN DALAM BEBERAPA PERKARA TERMASUK PULA WUDHU

HADITS KE-44

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ اَلتَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ, وَتَرَجُّلِهِ, وَطُهُورِهُ, وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa menyukai mendahulukan yang kanan (dari yang kiri) ketika memakai sandal, ketika mengurus rambutnya (menyisir, meminyaki, dan mempercantik), ketika bersuci (berwudhu dan mandi), dan setiap perkara baik lainnya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 168 dan Muslim, no. 268, 67]

 

Faedah hadits

  1. Hendaklah memulai dengan kaki kanan ketika memakai sandal, begitu pula kaos kaki, dan sepatu. Hal ini dimisalkan pula ketika memakai pakaian, celana, hingga lengan baju.
  2. Melepaskan sandal hendaklah dengan yang kiri terlebih dahulu, sama halnya dengan menanggalkan pakaian dan celana.
  3. Hendaklah mendahulukan sisi kanan ketika mengurus rambut, ketika menyisir hingga mencukur rambut.
  4. Hendaklah mendahulukan bagian yang kanan saat bersuci, yakni ketika wudhu dan mandi, saat membasuh kedua tangan dan kedua kaki. Adapun kedua telinga, kedua telapak tangan, kedua pipi dibasuh serentak.
  5. Mendahulukan yang kanan dilakukan pada segala sesuatu. Para ulama mengkhususkan dalam bab “takrim” (pemuliaan pada sesuatu) seperti mengambil, memberi, mengenakan (pakaian, celana, dan sepatu), ketika masuk masjid, saat memakai sandal, saat makan dan minum (dihukumi wajib dengan kanan), bersalaman, memakai celak, bersiwak, mencukur rambut kepala, semuanya ini dimulai dengan yang kanan. Adapun yang berbeda dengan hal-hal tadi, dianjurkan memulai dengan yang kiri seperti masuk toilet, keluar dari masjid, mengeluarkan ingus dari hidung, beristinja’ (cebok), melepaskan pakaian, celana, dan sepatu.

Yang disimpulkan dari Ibnu Hajar, disampaikan oleh Imam Nawawi bahwa mendahulukan yang kanan adalah dalam perkara mulia (baik) dan dalam hal berhias diri. Sedangkan sebaliknya, didahulukan yang kiri. Lihat Syarh Shahih Muslim, 1:270.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Disunnahkan mendahulukan yang kanan saat memakai dan yang kiri saat melepas.” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, hlm. 52)

Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Turkiy Al-Khatslan (dosen jurusan fikih di Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud) ditanya, “Manakah yang lebih afdal, menggunakan jam tangan di tangan kanan ataukah kiri?

Syaikh hafizhahullah menjawab, “Yang nampak, jam tangan (arloji) berfungsi sebagaimana cincin. Ada yang bermaksud mengenakannya sebagai mode (penampilan) dan ada yang bermaksud memanfaatkannya untuk tujuan yang lain. Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menggunakan cincin di tangan kanan dan kadang di tangan kiri pula. Para ulama akhirnya berselisih manakah di antara keduanya yang terbaik. Yang paling bagus dalam menyikapi hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika ia mengatakan, ‘Yang tepat, hal ini tergantung tujuan menggunakannya. Jika tujuan menggunakannya adalah untuk penampilan, kanan lebih afdal. Jika tujuannya untuk memakai sebagaimana cincin, maka yang kiri lebih tepat karena cincin itu seperti suatu ikatan. Tujuan ini pun bisa dicapai jika diletakkan di tangan kanan’ (Fath Al-Bari, 10:327). Oleh karenanya, jika tujuan menggunakan jam untuk mengenali waktu, maka lebih afdal di tangan kiri. Jika maksudnya untuk penampilan–sebagaimana maksud seperti ini ditemukan pada banyak wanita–, maka afdalnya adalah di tangan kanan. Wallahu a’lam.” (Diambil dari situs web Syaikh Sa’ad Al-Khatslan)

 

PERINTAH MENDAHULUKAN YANG KANAN KETIKA BERWUDHU

HADITS KE-45

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فابدأوا بِمَيَامِنِكُمْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian berwudhu hendaklah memulai dengan yang kanan.” (Dikeluarkan oleh yang empat dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 4141; Ibnu Majah, no. 402; Ahmad, 14:292; Ibnu Khuzaimah, 1:90; Tirmidzi, no. 1766; An-Nasai dalam Al-Kubra, 8:425. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah sebagaimana komentar dari Ibnu Hajar. Ada catatan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan bahwa kalimat perintah terdapat pada sunan Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah, berarti disebutkan dengan sunnah qauliyah, berupa ucapan. Sedangkan, dalam riwayat Tirmidzi dan An-Nasai disebutkan dengan sunnah fi’liyyah, berupa praktik, dan tidak disebutkan perihal wudhu. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:204-205].

 

Faedah hadits

Berdasarkan perintah yakni sunnah berupa ucapan dan berdasarkan praktik dalam sebagian lafaz hadits, disimpulkan secara tekstual bahwa mendahulukan yang kanan dihukumi wajib. Namun, ada perkataan dari Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa tidak ada pengulangan jika ada yang mendahulukan yang kiri sebelum yang kanan.” (Al-Awsath, 1:387). Ibnu Qudamah rahimahullahberkata, “Tidak wajib berurutan dalam hal kanan dan kiri. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan ulama dalam hal ini.” (Al-Mughni, 1:190).

Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah para ulama berijmak (bersepakat) bahwa mendahulukan yang kanan di sini dihukumi sunnah (bukan wajib). Lihat perkataan-perkataan ini dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:206.

 

MENCUKUPKAN PADA MEMBASUH UBUN-UBUN BERSAMA ‘IMAMAH (PENUTUP KEPALA)

HADITS KE-46

وَعَنِ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةٍ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ, فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ, وَعَلَى اَلْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ. – أَخْرَجَهُ مُسْلِم

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu lantas mengusap ubun-ubun (rambut bagian depan) dan bagian atas sorbannya, beliau juga mengusap kedua khufnya (sepatunya). (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 274, 83]

 

Faedah hadits

Hadits ini dijadikan dalil dari sebagian ulama bahwa sudah dianggap sah mengusap sebagian kepala, tidak diharuskan mengusap seluruhnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada satu hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau mencukupkan mengusap sebagian kepala saja. Yang ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamketika mengusap ubun-ubunnya, beliau sempurnakan lagi dengan mengusap ‘imamah, penutup kepalanya.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:193)

Dalam madzhab Syafii sendiri:

  • Yang wajib adalah mengusap sebagian kepala, ini termasuk rukun.
  • Yang sunnah adalah mengusap seluruh kepala.

Maka lebih aman, kita penuhi yang sunnah agar lebih sempurna dalam mengusap kepala.

 

WAJIB BERURUTAN KETIKA BERWUDHU

HADITS KE-47

وَعَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا -فِي صِفَةِ حَجِّ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ – صلى الله عليه وسلم – – اِبْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اَللَّهُ بِهِ – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ, هَكَذَا بِلَفْظِ اَلْأَمْر ِ  وَهُوَ عِنْدَ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ اَلْخَبَر ِ

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang tata cara haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Mulailah dengan apa yang telah dimulai oleh Allah.” (HR. An-Nasai dengan lafaz perintah seperti ini. Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafaz khabar, pemberitaan) [HR. Muslim, no. 1218; An-Nasai dalam Ash-Shughra, no. 2962; Ahmad, 3:393]

 

Faedah hadits

Walaupun masalah ini ditemukan dalam pembahasan haji, tetapi ada kaidah usul yang berbunyi,

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Pelajaran diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab.”

Dari sini diambil kesimpulan, wajibnya tartib (berurutan) antara anggota wudhu yang wajib (yakni membasuh wajah, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki) seperti disebutkan dalam surah Al-Maidah ayat 6. Inilah yang menjadi pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafii.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

 

KEDUA SIKU IKUT DIBASUH SAAT BERWUDHU

HADITS KE-48

وَعَنْهُ قَالَ: – كَانَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ اَلْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ. – أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادِ ضَعِيف ٍ

Diriwayatkan pula dari Jabir bin ‘Abdullah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berwudhu mengalirkan air pada kedua sikunya.” (Dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang dhaif atau lemah). [HR. Ad-Daruquthni, 1:83, no. 15. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif jiddan, lemah sekali. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:215]

 

Faedah hadits

Hadits ini secara sanad dihukumi dhaif (lemah). Namun, jika dilihat dari isi matannya (teksnya) adalah sahih. Dari sini, disimpulkan bahwa siku dan mata kaki ikut dibasuh saat berwudhu. Adapun ayat yang membicarakan hal ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6). Kata “ilaa” dalam ayat bermakna “ma’a” artinya bersama. Itu berarti siku dan mata kaki ikut dibasuh.

 

HUKUM MEMBACA BISMILLAH SAAT BERWUDHU

HADITS KE-49

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اِسْمَ اَللَّهِ عَلَيْهِ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ,وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, بِإِسْنَادٍ ضَعِيف

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah (membaca bismillah) di dalamnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dengan sanad dhaif). [HR. Ahmad, 15:243; Abu Daud, no. 101; Ibnu Majah, no. 399. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif karena dua sebab: (1) ketidakjelasan (jahalah) dari Ya’qub bin Salamah Al-Laitsi dan orang tuanya; (2) Salamah tidak diketahui mendengar langsung dari Abu Hurairah, begitu pula Ya’qub dari bapaknya. Hadits ini punya jalur lain, semuanya dhaif. Ada penguatnya yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulugh Al-Maram ini yaitu hadits Sa’id bin Zaid dan hadits Abu Sa’id].

 

HADITS KE-50

وَلِلترْمِذِيِّ: عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْد

Dalam riwayat Tirmidzi, dari Sa’id bin Zaid. [HR. Tirmidzi, no. 25. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 1:219 menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif].

 

HADITS KE-51

وَأَبِي سَعِيدٍ نَحْوُه

قَالَ أَحْمَدُ: لَا يَثْبُتُ فِيهِ شَيْء

Juga dari Abu Sa’id semisal itu. Ahmad berkata, “Tidaklah ada hadits sahih yang membicarakan tentang hal ini.” [HR. Ibnu Majah, no. 397 dan Ahmad, 17:465, juga Tirmidzi dalam Al-‘Ilal Al-Kabir, 1:112. Dalam Talkhish Al-Habir, 1:86, Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” Ibnu Katsir dalam Irsyad Al-Faqih, 1:36, berkata, “Banyak jalur lain telah diriwayatkan tentang hal ini, semuanya saling menguatkan satu dan lainnya, haditsnya itu hasan atau sahih.” Dalam kitab tafsirnya (1:180-181), Ibnu Katsir menyatakan bahwa hadits ini hasan. Ibnul Qayyim dalam Al-Manar Al-Munif, hlm. 120, menyatakan, “Hadits-hadits tentang tasmiyah—yakni membaca bismillah—ketika berwudhu adalah hadits-hadits yang hasan.” Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:218-222].

 

Faedah hadits

  1. Penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Sehingga membaca bismillah saat berwudhu dihukumi sunnah dengan alasan:

Pertama: Ayat yang membicarakan tentang berwudhu yaitu surah Al-Maidah ayat 6 tidak memerintahkan dengan bismillah ketika memulai. Hal ini berbeda dengan ayat berburu,

وَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ

Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).” (QS. Al-Maidah: 4)

Ketika menyembelih, Allah menyebutkan,

فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ

Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).” (QS. Al-Hajj: 36)

Kedua: Ada hadits-hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya.

 

  1. Yang dianjurkan adalah membaca “bismillah” ketika berwudhu. Sebagian fuqaha menganjurkan dengan membaca “bismillahir rahmaanir rohiim”.
  2. Andai ada yang tidak membaca bismillah (tasmiyah) saat berwudhu dalam keadaan lupa atau sengaja ditinggalkan, wudhunya sah karena termasuk dalam perkara sunnah, bukan wajib. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:76.

 

TATA CARA BERKUMUR-KUMUR DAN BERISTINSYAQ

HADITS KE-52

وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: – رَأَيْتُ رَسُولَاَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَفْصِلُ بَيْنَ اَلْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ

Dari Thalhah bin Musharrif, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung).” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang dhaif). [HR. Abu Daud, no. 139. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 1:227, menyatakan bahwa hadits ini dhaif karena dua sebab: (1) dari riwayat Laits bin Abu Sulaim, dhaif menurut jumhur, bahkan Imam Nawawi katakan bahwa para ulama berijmak akan dhaifnya; (2) ketidaktahuan siapakah Thalhah, bapaknya, dan kakeknya].

 

HADITS KE-53

وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ- – ثُمَّ تَمَضْمَضَ – صلىالله عليه وسلم – وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا, يُمَضْمِضُ وَيَنْثِرُ مِنْ اَلْكَفِّ اَلَّذِي يَأْخُذُمِنْهُ اَلْمَاءَ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيّ

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dalam tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung sebanyak tiga kali. Beliau berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung dengan telapak tangan yang digunakan untuk mengambil air.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasai). [HR. Abu Daud, no. 111; An-Nasai, 1:68. Hadits ini sahih sebagaimana disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 1:153. Hadits ini sama dengan hadits no. 3 dari pembahasan wudhu, yakni hadits ke-34].

 

HADITS KE-54

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدٍ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ- – ثُمَّأَدْخَلَ – صلى الله عليه وسلم – يَدَهُ, فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّوَاحِدَةٍ, يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثًا – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari ‘Abdullah bin Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya, lalu beliau berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dari satu telapak tangan, beliau melakukannya sebanyak tiga kali.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 186 dan Muslim, no. 235]

 

Faedah hadits

  1. Hadits yang menunjukkan memisah antara berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung (total ada enam cidukan dengan tangan) adalah hadits dhaif, tidak bisa dijadikan dalil.
  2. Berkumur-kumur dan beristinsyaq dilakukan sebanyak tiga kali dari satu telapak tangan dengan satu cidukan, untuk lebih menghemat penggunaan air wudhu. Inilah yang disebutkan dalam hadits ‘Ali dan hadits ‘Abdullah bin Zaid. Mulut dan hidung adalah dua anggota, tetapi dari satu anggota tubuh yaitu wajah. Menyatukan antara berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung adalah pendapat Imam Syafii yang jadid (terbaru), juga menjadi pendapat Imam Malik, dan pendapat dari Imam Ahmad.
  3. Ada dua riwayat, pertama dari Syaqiq bin Salamah yang menyaksikan ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin ‘Affan berwudhu, dan kedua dari dari Ibnu Abi Malikah ketika ditanya tentang wudhunya ‘Utsman disebutkan mengenai berkumur-kumur tiga kali dan beristinsyaq (menghirup air ke hidung) tiga kali. Kata Imam Ash-Shan’ani dalam Subul As-Salam (1:98), “Dengan adanya dua riwayat ini antara penggabungan ataukah tidak, kita bisa memilih antara kedua cara yaitu memisah antara berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung atau menggabungkan antara keduanya. Walaupun riwayat yang menggabungkan lebih banyak dan lebih sahih.”

 

HUKUM MUWALAH SAAT WUDHU

HADITS KE-55

وَعَنْ أَنَسٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – رَأَى اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلًا, وَفِي قَدَمِهِ مِثْلُ اَلظُّفُرِ لَمْ يُصِبْهُ اَلْمَاءُ. فَقَالَ: “اِرْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ” – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيّ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang pada tumit kakinya ada bagian sebesar kuku yang belum terkena air, maka beliau bersabda, ‘Ulangilah wudhumu lalu perbaguslah.’” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasai) [HR. Abu Daud, no. 173; Ibnu Majah, no. 655; Ahmad, 19:471]

 

Hadits lain yang semisal

Ada hadits yang semisal hadits di atas yaitu dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Umar bin Al-Khaththab, ia berkata,

أنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ على قَدَمِهِ فأبْصَرَهُ النبيُّ ﷺ فقالَ: ارْجِعْ فأحْسِنْ وُضُوءَكَ فَرَجَعَ، ثُمَّ صَلّى

“Ada seseorang yang berwudhu dan meninggalkan membasuh bagian sebesar kuku di tumit kakinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihatnya, lalu beliau bersabda, ‘Ulangilah wudhumu lalu perbaguslah.’ Maka ia pun mengulanginya, kemudian shalat.” (HR. Muslim, no. 243 dan Abu Daud, no. 173)

Juga ada hadits dari Khalid bin Ma’dan, dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى رَجُلاً يُصَلِّى وَفِى ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang di tumit kakinya ada bintik-bintik tidak terkena air. Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan kepadanya untuk mengulangi wudhu.” (HR. Ahmad, 3:424. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lainnya, atau sahih lighairihi).

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan bahwa wajibnya membasuh bagian anggota wudhu secara menyeluruh. Jika ada yang meninggalkan satu bagian saja walau sedikit, wudhunya tidaklah sah.
  2. Wajib menghilangkan sesuatu yang menghalangi masuknya air pada kulit sehingga bersuci jadi tidak sempurna.
  3. Hadits ini menunjukkan perintah untuk muwalah. Muwalah itu artinya tataabu’, yakni berkesinambungan, tidak ada jeda antara anggota wudhu yang membuat anggota wudhu yang telah dibasuh menjadi kering dengan standar waktu normal. Hukum muwalah ini adalah sunnah, bukanlah wajib. Inilah yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu dari pendapat Imam Ahmad, pendapat jadid (terbaru) dari Imam Syafii, dan pendapat Zhahiriyyah.
  4. Jika seseorang melihat pada saudaranya kekurangan atau kekeliruan, maka hendaklah ia mengingatkan. Di antaranya mengingatkan dalam masalah ibadah agar ibadahnya menjadi bagus. Ini bagian dari ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan.

 

JUMLAH AIR YANG DIGUNAKAN SAAT WUDHU DAN MANDI

HADITS KE-56

وَعَنْهُ قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ, وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Diriwayatkan pula dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mudd air dan mandi dengan satu sha’ hingga lima mud air.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 201 dan Muslim, no. 325, 51]

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan bagaimanakah jumlah air yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menggunakan satu mudd untuk berwudhu. Satu mudd adalah ukuran dua telapak tangan penuh bagi orang pertengahan. Sedangkan untuk mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan air sebanyak satu sha’ (satu sha’ = empat mud) atau lima mudd.
  2. Hendaklah hemat dalam menggunakan air ketika wudhu dan mandi.
  3. Jangan sampai boros dalam menggunakan air walau air dalam keadaan berlimpah.
  4. Ukuran air yang disebutkan dalam hadits adalah ukuran pendekatan, bukan kita dibatasi menggunakan air hanya segitu. Karena kebutuhan orang memakai air tentu saja berbeda-beda.

 

DOA SETELAH BERWUDHU

HADITS KE-57

وَعَنْ عُمَرَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ, فَيُسْبِغُ اَلْوُضُوءَ, ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ اَلْجَنَّةِ” – أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ

وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَزَادَ: – اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ اَلتَّوَّابِينَ, وَاجْعَلْنِي مِنْ اَلْمُتَطَهِّرِينَ –

Dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiadalah seorang pun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu berdoa: ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUH (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya), melainkan dibukakan baginya pintu-pintu surga.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 234]

Dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan bacaan doa, “ALLOHUMMAJ ‘ALNII MINAT TAWWAABIINA WAJ’AL-NII MINAL MUTATHOHHIRIIN (artinya: Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah pula aku termasuk orang-orang yang selalu menyucikan diri).” [HR. Tirmidzi, no. 55. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:241].

 

Faedah hadits

  1. Dianjurkan membaca doa yang disebutkan dalam hadits ini bakda wudhu. Keutamaannya akan masuk lewat pintu surga mana saja yang disukai.
  2. Ash-Shan’ani rahimahullah berkata bahwa inilah bagusnya penutup dari pembahasan bab wudhu dari Imam Ibnu Hajar dengan doa yang bagus yang bisa dipraktikan bakda wudhu.
  3. Tawwabin artinya orang banyak bertaubat dan banyak beristighfar dari maksiat dan dosa. Mutathohhirin artinya orang yang menyucikan diri dari dosa, hadats, dan najis.

 

REFERENSI

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  3. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu Ishaq Al-Huwaini, diringkas oleh: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  4. Tahqiq Ar-Raghabaat bi At-Taqasim wa At-Tasyjiiraat li Thalabah Al-Fiqh Asy-Syafii. Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk, Faktor, Dampak, dan Solusinya

Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk, Faktor, Dampak, dan Solusinya  Kesenjangan sosial merupakan suatu kondisi dimana ada hal yang tidak seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Entah itu secara personal maupun kelompok. Dimana ada ketimpangan sosial yang terbentuk dari sebuah ketidakadilan distribusi banyak hal yang dianggap penting oleh masyarakat. Kesenjangan tersebut seringkali dikaitkan dengan adanya suatu bentuk perbedaan yang sangat nyata serta dapat dilihat dalam segi keuangan masyarakat, seperti kekayaan harta. Terlebih untuk hal kesenjangan dalam bidang ekonomi. Sekarang ini sangat mudah dilihat dari adanya potensi serta peluang yang tidak sama dalam posisi sosial di masyarakat. Selain hal di atas, kesenjangan juga dapat dilihat dari adanya ketidaksetaraan antara barang, jasa, hukum, dan kesempatan yang didapatkan oleh setiap individu. Pengertian Kesenjangan Sosial Menurut Para Ahli Supaya kita lebih memahami apa arti kesenjangan sosial. Maka Penulis akan memberikan informas

Islam Dan Pancasila

Islam Dan Pancasila Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Membuat kategori antara Islam dan Pancasila sebagaimana dalam judul tulisan ini sebenarnya kurang tepat. Ketika membuat kategori dengan menyebut Islam, maka yang seharusnya disebut pula adalah jenis agama lain, misalnya Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan seterusnya. Sementara itu, ketika menyebut pancasila, maka yang disebut lainnya, agar kategori itu sekufu, adalah sosialis, komunis, liberalis, dan lain-lain. Islam adalah sebuah agama, sementara itu Pancasila adalah merupakan filsafat hidup dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam negara Pancasila, Islam bisa hidup dan berkembang, bahkan sangat diperlukan. Demikian pula, konsep Pancasila akan menjadi semakin jelas ketika masyarakatnya menjalankan agamanya masing-masing. Mendasarkan pada konsep Pancasila, negara berkepentingan menjadikan rakyatnya beragama. Itulah sebabnya sekalipun negara ini bukan berdasarkan agama, tetapi menghendaki agar rakyatnya menjalanka

Pengertian,Tokoh, Pandangan, dan Cabang Ilmu Filsafat

Filsafat Adalah: Pengertian, Tokoh, Pandangan, dan Cabang Ilmunya Keberadaan filsafat sebagai disiplin ilmu ternyata sudah dipersoalkan sejak lebih dari 20 tahun abad silam. Meskipun banyak pendapat yang menjelaskan mengenai apakah sesungguhnya filsafat itu, tetapi pendapat-pendapat tersebut belum memuaskan semua orang. Bahkan banyak orang yang berpikir bahwa filsafat adalah sesuatu yang bersifat serba rahasia, mistis, dan aneh. Apakah  Grameds  pernah berpikir demikian? Filsafat disebut-sebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi ini. Maka dari itu, banyak pula orang yang menganggap bahwa filsafat adalah ilmu paling istimewa dan menduduki tempat paling tinggi di antara seluruh ilmu pengetahuan yang ada. Terlebih lagi, banyaknya kepercayaan bahwa filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang genius saja! Wah, benar-benar fantastis ya! Lalu sebenarnya, apa sih filsafat itu? Apa saja pandangan yang terdapat dalam ilmu filsafat ini? Bagaimana pula perkembangan c