Piagam Jakarta dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Sedangkan nama Piagam Jakarta sendiri diusulkan oleh Mohammad Yamin pada 10 Juli 1945, atau pada Sidang BPUPKI Kedua.
Sejarah perumusan Piagam Jakarta
Sejarah perumusan Piagam Jakarta berawal dari dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dalam Sidang Pertama BPUPKI yang berlangsung tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, para anggota BPUPKI mengemukakan pendapat mengenai nilai dasar negara yang nantinya dijadikan pedoman oleh rakyat Indonesia.
Namun, sampai akhir sidang BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik terang terkait rumusan dasar negara Indonesia.
Hal ini karena terdapat pendapat berbeda dan muncul perdebatan di antara golongan nasionalis dengan tokoh-tokoh Islam.
Oleh karena itu, dibentuk panitia kecil sebagai perantara golongan nasionalis dengan tokoh Islam yang bertugas untuk menyusun rumusan dasar negara, yang disebut sebagai Panitia Sembilan.
Tugas Panitia Sembilan adalah menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara yang kemudian disebut oleh Mohammad Yamin sebagai Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta, yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan, berisi gabungan pendapat antara golongan nasionalis dan golongan Islam.
Rumusan dasar negara dari Panitia Sembilan kemudian dijadikan sebagai preambule atau Pembukaan UUD 1945.
Rancangan Pembukaan UUD 1945 inilah yang disebut sebagai Piagam Jakarta, yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945.
Tokoh perumus Piagam Jakarta
Panitia Sembilan bertugas mengumpulkan pendapat para tokoh mengenai rumusan dasar negara yang akan dibahas dalam Sidang Kedua BPUPKI.
Tokoh-tokoh dari Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta adalah sebagai berikut.
- Soekarno: Ketua
- Moh. Hatta: Wakil
- Achmad Soebardjo: Anggota
- Mohammad Yamin: Anggota
- KH Wahid Hasyim: Anggota
- Abdul Kahar Muzakkir: Anggota
- Abikoesno Tjokrosoejoso: Anggota
- Agus Salim: Anggota
- AA Maramis: Anggota
Isi Piagam Jakarta
Isi dari Piagam Jakarta terdiri dari empat alinea yang kemudian menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai berikut.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Djakarta, 22-6-1945
Panitia Sembilan
Perubahan
Sore hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, terjadi perubahan terhadap isi dari Piagam Jakarta.
Kala itu, Mohammad Hatta didatangi oleh perwakilan dari rakyat Indonesia bagian timur.
Mereka menyampaikan bahwa ada beberapa wakil Protestan dan Katolik yang merasa keberatan dengan salah satu kalimat dalam Piagam Jakarta, yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
Menanggapi protes tersebut, Hatta mengajak beberapa tokoh, seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo, dan Mr. Teuku Mohammad Hasan, melaksanakan rapat sebelum sidang PPKI dimulai.
Hasilnya, mereka sepakat untuk menghilangkan kalimat yang dipermasalahkan dan menggantinya dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Setelah ada perubahan isi, Piagam Jakarta diubah namanya menjadi Pembukaan UUD 1945, yang diresmikan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Kontroversi
Meski Piagam Jakarta dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945, rupanya muncul beragam kontroversi terhadap naskah ini.
Setelah kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa", sebagian kelompok masih berusaha untuk mengembalikannya seperti semula.
Usaha mengembalikan kalimat tersebut juga dilakukan lewat jalur politik, di mana dalam sidang-sidang konstituante di Bandung masa 1956-1959, sejumlah partai yang berasaskan Islam memperjuangkan berlakunya kembali syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Komentar
Posting Komentar