Rupa-rupa Alasan Hakim Izinkan Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Sejumlah Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia mulai mengizinkan pernikahan beda agama. Hakim kemudian memerintahkan agar Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) mencatat peristiwa itu dengan segala akibat hukumnya.
Berikut rupa-rupa alasan hakim mengizinkan pernikahan beda agama sebagaimana dirangkum dari putusan sejumlah pengadilan.
Apakah Nikah Beda Agama Sah?
Hakim Arlandi Triyogo (PN Jaksel)
Arlandi menilai perkawinan beda agama tidak sah sebab hal itu bertentangan dengan UU Perkawinan. Namun Arlandi setuju dan mengizinkan pencatatan nikah beda agama di Dukcapil.
Berikut pertimbangannya:
1. UU No 1/1974 dan PP 9/1975 ditegaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Agama dan Kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan antara dua orang yang memeluk agama yang sama, sebagaimana menurut Penjelasan Undang-Undang, dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang.
3. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ( 2 ) PP Nomor 9 Tahun Tahun 1975 ada 2 (dua) instansi Pegawai pencatat perkawinan yaitu pegawai pencatat untuk perkawinan menurut agama Islam berada di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
4. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan instansi tertinggi dalam menentukan keputusannya mengenai nikah beda agama menurut Islam, telah sepakat menyatakan dan memberikan fatwa jika pernikahan beda agama yang dilakukan dalam agama Islam haram hukumnya dan membuat akad nikah dari pernikahan tersebut tidak sah secara agama.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka terhadap Petitum Permohonan Para pemohon angka 1 agar Hakim menyatakan sah Perkawinan beda agama patut untuk ditolak.
Adapun pencatatannya, Arlandi mengizinkan pencatatan di Dukcapil.
Pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan hak asasi warga negara untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing.
Halomoan Ervin Frans Sihaloho, hakim PN Jaktim
Hakim Halomoan Ervin Frans Sihaloho (PN Jaktim)
Halomoan menyatakan nikah beda agama sah sehingga sah pula pencatatannya. Berikut alasannya:
1. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak diatur kalau calon suami dan calon isteri yang memiliki keyakinan agama berbeda merupakan larangan perkawinan.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidaklah melarang terjadinya perkawinan di antara mereka yang berbeda agama.
3. Berdasarkan pasal 28B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk Agamanya masing-masing.
4. Pemohon sendiri saling mencintai dan para Pemohon bersepakat untuk membentuk perkawinan/rumah tangga yang kekal dan bahagia , di mana keinginan mereka tersebut telah mendapat restu dari kedua keluarga besar mereka masing-masing.
5. Pada dasarnya keinginan para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan berbeda agama tidaklah merupakan larangan berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974.
6. Pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan Hak Asasi para Pemohon sebagai Warga Negara serta Hak Asasi para Pemohon untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing, maka ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan, apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami isteri in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon yang memiliki perbedaan agama.
7. Tentang tata cara perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon karena adanya perbedaan agama, maka ketentuan dalam pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut. Di mana dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ditegaskan 'dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi'.
8. Maksud dan tujuan para pemohon untuk mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama hanyalah semata-mata untuk kepentingan Para Pemohon sendiri dan tidak mengganggu ketertiban umum dalam lingkungan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang ada maka tidak ada alasan untuk tidak mengabulkan Permohonan Para Pemohon.
Hakim Imam Supriyadi (PN Surabaya)
Supriyadi menilai pernikahan beda agama sah dengan alasan:
1. Pasangan mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinannya untuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2. Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk Agamanya masing-masing;
3. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan Surat Bukti telah diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa Para Pemohon sendiri sudah saling mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan mereka dalam perkawinan, dimana keinginan Para Pemohon tersebut telah mendapat restu dari kedua orang tua Para Pemohon masing-masing;
Apakah Nikah Beda Agama Bisa Dicatatkan ke Negara?
Berbagai penetapan pengadilan mengizinkan pencatatan nikah beda agama dengan alasan, salah satunya PN Pontianak. Berikut beberapa pertimbangannya:
1. Penjelasan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang mana wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi pelaksana untuk dicatatkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil pada Register Perkawinan dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinannya.
2. Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, dalam hal perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama dan perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, pencatatan perkawinan dilaksanakan berdasarkan Penetapan Pengadilan dengan memenuhi persyaratan a Salinan Penetapan Pengadilan.
3. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut, di mana dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ditegaskan: dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
Andi Saputra
Sejumlah Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia mulai mengizinkan pernikahan beda agama. Hakim kemudian memerintahkan agar Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) mencatat peristiwa itu dengan segala akibat hukumnya.
Berikut rupa-rupa alasan hakim mengizinkan pernikahan beda agama sebagaimana dirangkum dari putusan sejumlah pengadilan.
Apakah Nikah Beda Agama Sah?
Hakim Arlandi Triyogo (PN Jaksel)
Arlandi menilai perkawinan beda agama tidak sah sebab hal itu bertentangan dengan UU Perkawinan. Namun Arlandi setuju dan mengizinkan pencatatan nikah beda agama di Dukcapil.
Berikut pertimbangannya:
1. UU No 1/1974 dan PP 9/1975 ditegaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Agama dan Kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan antara dua orang yang memeluk agama yang sama, sebagaimana menurut Penjelasan Undang-Undang, dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang.
3. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ( 2 ) PP Nomor 9 Tahun Tahun 1975 ada 2 (dua) instansi Pegawai pencatat perkawinan yaitu pegawai pencatat untuk perkawinan menurut agama Islam berada di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
4. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan instansi tertinggi dalam menentukan keputusannya mengenai nikah beda agama menurut Islam, telah sepakat menyatakan dan memberikan fatwa jika pernikahan beda agama yang dilakukan dalam agama Islam haram hukumnya dan membuat akad nikah dari pernikahan tersebut tidak sah secara agama.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka terhadap Petitum Permohonan Para pemohon angka 1 agar Hakim menyatakan sah Perkawinan beda agama patut untuk ditolak.
Adapun pencatatannya, Arlandi mengizinkan pencatatan di Dukcapil.
Pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan hak asasi warga negara untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing.
Halomoan Ervin Frans Sihaloho, hakim PN Jaktim
Hakim Halomoan Ervin Frans Sihaloho (PN Jaktim)
Halomoan menyatakan nikah beda agama sah sehingga sah pula pencatatannya. Berikut alasannya:
1. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak diatur kalau calon suami dan calon isteri yang memiliki keyakinan agama berbeda merupakan larangan perkawinan.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidaklah melarang terjadinya perkawinan di antara mereka yang berbeda agama.
3. Berdasarkan pasal 28B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk Agamanya masing-masing.
4. Pemohon sendiri saling mencintai dan para Pemohon bersepakat untuk membentuk perkawinan/rumah tangga yang kekal dan bahagia , di mana keinginan mereka tersebut telah mendapat restu dari kedua keluarga besar mereka masing-masing.
5. Pada dasarnya keinginan para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan berbeda agama tidaklah merupakan larangan berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974.
6. Pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan Hak Asasi para Pemohon sebagai Warga Negara serta Hak Asasi para Pemohon untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing, maka ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan, apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami isteri in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon yang memiliki perbedaan agama.
7. Tentang tata cara perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon karena adanya perbedaan agama, maka ketentuan dalam pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut. Di mana dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ditegaskan 'dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi'.
8. Maksud dan tujuan para pemohon untuk mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama hanyalah semata-mata untuk kepentingan Para Pemohon sendiri dan tidak mengganggu ketertiban umum dalam lingkungan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang ada maka tidak ada alasan untuk tidak mengabulkan Permohonan Para Pemohon.
Hakim Imam Supriyadi (PN Surabaya)
Supriyadi menilai pernikahan beda agama sah dengan alasan:
1. Pasangan mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinannya untuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2. Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk Agamanya masing-masing;
3. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan Surat Bukti telah diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa Para Pemohon sendiri sudah saling mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan mereka dalam perkawinan, dimana keinginan Para Pemohon tersebut telah mendapat restu dari kedua orang tua Para Pemohon masing-masing;
Apakah Nikah Beda Agama Bisa Dicatatkan ke Negara?
Berbagai penetapan pengadilan mengizinkan pencatatan nikah beda agama dengan alasan, salah satunya PN Pontianak. Berikut beberapa pertimbangannya:
1. Penjelasan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang mana wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi pelaksana untuk dicatatkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil pada Register Perkawinan dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinannya.
2. Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, dalam hal perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama dan perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, pencatatan perkawinan dilaksanakan berdasarkan Penetapan Pengadilan dengan memenuhi persyaratan a Salinan Penetapan Pengadilan.
3. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut, di mana dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ditegaskan: dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
Komentar
Posting Komentar