Langsung ke konten utama

Toleransi Autentik

Edik nantes
Dokumen yang berasal dari 1598 ini merupakan salah satu catatan historis terpenting dan tertua tentang toleransi. Maklumat ini di­susun guna mengakhiri peperang­an antara Gereja Katolik Roma dan gereja Protestan yang melanda Eropa pada abad ke-16 dan 17. Agar tidak menjadi alasan konflik dan kegaduhan di antara warga masyarakat, pemerintah Prancis waktu itu yang mayoritas Katolik Roma mengizinkan para penganut gereja reformis untuk hidup dan tinggal di semua kota dan tempat di wilayah Prancis. Dengan demikian, mereka tidak dipaksa ‘melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan suara hatinya’. Demikian substansi dari dokumen tertua tentang toleransi tersebut.

Sudah pada masanya, Goethe mengendus cacat dan ambivalensi toleransi ini. Di satu sisi penguasa Prancis memberikan jaminan keamanan dan kebebasan terbatas kepada kelompok minoritas. Namun, di sisi lain, jaminan tersebut tak lain dari praktik kekuasaan menindas terselubung atas kelompok minoritas. Hidup kelompok minoritas sangat bergantung pada kebaikan hati penguasa. Untuk itu, mereka harus membayarnya dengan loyalitas terhadap pe­nguasa.

Bagi Goethe, praktik toleransi versi Edik Nantes ialah penghinaan terhadap kebebasan asasi manusia. Toleransi di sini tidak dipahami sebagai hak, tetapi hadiah yang dimohonkan dari penguasa atau kelompok mayoritas. Setiap saat dapat dicabut kembali jika kaum minoritas melanggar sejumlah ketentuan.

Toleransi pasif
Di Indonesia relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas sering masih didominasi pola relasi tim­pang. Hal ini paling banyak dialami para penganut kepercayaan yang kelompok minoritas. Penganut Sapto Darmo di Brebes, Jawa Tengah, misalnya kesulitan memakamkan keluarganya di permakaman umum karena kolom agamanya di KTP kosong. Demikian pun perkawinan penganut kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur, tidak dicatat negara. Akibatnya, anak-anaknya tak memiliki akta kelahiran. Bahkan, anak- anak Sunda Wiwitan sering harus berbohong soal identitas agamanya agar dapat bersekolah (Bdk Kompas, 6/10/2016).

Praktik-praktik toleransi pasif sangat rapuh dan mudah sekali diprovokasi lewat isu-isu sektarian. Dalam kasus kerusuhan Tanjung Balai, Tolikara, dan di tempat-tempat lain di Tanah Air, kita dapat menyaksikan bagaimana warga begitu gampang meninggalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan tradisi toleransi yang sudah diwariskan cukup lama hanya karena hasutan di media sosial. Sesama warga tak segan-segan dihabisi hanya karena berbeda agama dan keyakinan.

Satu bukti bahwa toleransi belum tampil sebagai kebajikan politik demokrasi yang harus diperjuangkan. Toleransi dipandang sebagai sikap terpaksa membiarkan yang lain hidup lantaran factum pluralitas. Kualitas demokrasi di Indonesia yang plural sangat ditentukan kua­litas kebajikan toleransi yang berpijak pada prinsip hak, kebebasan, dan kesetaraan. Karena itu, sudah saatnya untuk beralih dari model toleransi belas kasihan menuju paradigma hak. Bangsa Indonesia harus meninggalkan konsep tole­ransi pasif yang berbasiskan tradisi semata menuju toleransi autentik dengan penekanan pada persamaan hak antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Respek
Berbeda dari toleransi pasif, to­leransi autentik bersifat afirmatif terhadap hak hidup, kebebasan, dan kehendak yang lain sebagai yang lain untuk berkembang. Dalam bahasa Rosa Luxemburg, kebebasan selalu berarti kebebasan berpikir lain. Toleransi autentik atau biasa juga disebut toleransi respek berkaitan dengan sikap seseorang terhadap yang lain dalam relasi sosial. Prinsip toleransi ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan rentan terhadap konflik lantaran perbedaan agama, suku, dan pandangan hidup. Untuk kondisi masyarakat post-sekuler, yakni agama-agama secara empiris dan normatif berkiprah di ruang publik, respek merupakan sikap yang tepat dalam relasi antara agama, tapi juga dalam relasi antara agama dan akal budi. Post-sekularisme memberi ruang agar terjadi proses saling belajar antara agama dan akal budi sekuler. Itu berarti, demikian Juergen Habermas, akal budi tidak boleh bertindak sebagai hakim sepihak atas kebenaran-kebenaran religius, tapi bersedia mendengarkan klaim-klaim religius di ruang publik.

Agar dapat didengar dan dipahami di ruang publik yang plural, agama-agama pun harus mampu menerjemahkan doktrin-doktrinnya ke dalam bahasa nalar publik. Di samping itu, agama dituntut untuk mengakui otoritas nalar dalam ilmu pengetahuan dan prinsip egalitarianisme universal dalam hukum dan moral. Agar agama mampu menerjemahkan ajarannya ke dalam bahasa nalar publik, setiap komunitas agama membutuhkan pembaharuan struktural yang membuka ruang bagi proses pluralisasi pandangan agama secara internal. Agama-agama harus secara kritis merefleksikan kembali sejarah dan doktrinnya, dengan bantuan metode historis kritis, kritik semantik, dan hermeneutika.

Dengan kualitas refleksi seperti ini, bahaya intoleransi dan fundamentalisme agama pun dapat dihindari. Untuk itu, agama perlu merumuskan gagasannya dalam bahasa nalar publik yang melampau identitas aslinya yang prapolitis dan primordial, dan akhirnya ikut memberikan kontribusi dalam pembentukan solidaritas politis dan pascatradisional yang kukuh dalam sebuah masyarakat yang plural.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKEMBANGAN ESTETIKA DALAM KARYA SENI ERA PRAMODERN, MODERN, POSTMODERN

PERKEMBANGAN ESTETIKA DALAM KARYA SENI ERA PRAMODERN, MODERN, POSTMODERN Oleh : Avinda Khoirunnisa & Erika ABSTRAK Estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Dewasa ini estetika tidak semata-mata membahas keindahan saja dalam seni atau pengalaman estetis, tetapi juga gaya atau aliran seni, perkembangan seni dan sebagainya. Dikaitkan dengan karya seni pada periode pramodern, modern dan postmodern, artikel ini mengajukan argumen tentang perkembangan estetika dari masa ke masa. Artikel ini mendiskusikan bagaiamana pembagian era dalam perkembangan filsafat seni atau estetika. Serta bagaimana perkembangan esetika dalam karya seni yang berbeda pada setiap era tersebut. Argumen didasarkan pada pemahaman bahwa karya seni pada setiap periode memiliki karakter keindahan masing-masing. Diskusi juga dikaitkan dengan teori para tokoh filsuf yang ikut berperan d...

Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk, Faktor, Dampak, dan Solusinya

Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk, Faktor, Dampak, dan Solusinya  Kesenjangan sosial merupakan suatu kondisi dimana ada hal yang tidak seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Entah itu secara personal maupun kelompok. Dimana ada ketimpangan sosial yang terbentuk dari sebuah ketidakadilan distribusi banyak hal yang dianggap penting oleh masyarakat. Kesenjangan tersebut seringkali dikaitkan dengan adanya suatu bentuk perbedaan yang sangat nyata serta dapat dilihat dalam segi keuangan masyarakat, seperti kekayaan harta. Terlebih untuk hal kesenjangan dalam bidang ekonomi. Sekarang ini sangat mudah dilihat dari adanya potensi serta peluang yang tidak sama dalam posisi sosial di masyarakat. Selain hal di atas, kesenjangan juga dapat dilihat dari adanya ketidaksetaraan antara barang, jasa, hukum, dan kesempatan yang didapatkan oleh setiap individu. Pengertian Kesenjangan Sosial Menurut Para Ahli Supaya kita lebih memahami apa arti kesenjangan sosial. Maka Penulis akan memberikan info...

Pengertian Masyarakat Serta Ciri dan Unsur - Unsurnya Menurut Para Ahli

Pengertian Masyarakat Menurut Para Ahli Serta Ciri & Unsur-Unsurnya Ada beragam pengertian masyarakat menurut para ahli sosiologi dan antropologi. Selain itu, setidaknya ada 6 ciri-ciri masyarakat. Berikut selengkapnya. Pengertian masyarakat dalam ilmu sosial bisa dilihat dalam penjelasan sejumlah ahli, baik dari disiplin ilmu antropologi maupun sosiologi. Manusia hidup beriringan dengan kebudayaan. Dengan berkelompok, manusia berhasil membentuk satuan sosial-budaya yang kemudian mendapat sebutan masyarakat. Istilah "masyarakat" berasal dari bahasa Arab, yakni berakar dari kata " syaraka"  yang berarti "ikut serta, berpartisipasi." Sementara di bahasa Inggris, istilah "masyarakat" disebut dengan " society " yang berasal dari kata latin "socius," berarti "kawan." Pengertian Masyarakat Salah satunya penjelasan ahli antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Dalam buku karyanya yang berjudul  Pengantar Ilmu Antropolog...