Soekarno menyebut gugus kaum muda antara lain; pertama, menjadi pelopor; Kepeloporan kaum muda dibutuhkan seperti halnya yang dilakukan Soekarno, yakni saat ia menyatukan antara partai politik dengan kekuatan-kekuatan sosial di Indonesia. Kedua, Kaum muda menjadi unsur mutlak dalam membangun. Tugas membangun membutuhkan kecakapan, memiliki visi yang jelas, memiliki kemampuan menganalisa hingga memobilisasi sumber daya. Kematangan intelektual yang menurut Onghokham (1983) menjadi ciri khas kaum muda pendiri republik.
Salah satu bagian generasi ini adalah Soekarno. Sejak usia 15 tahun, saat memasuki pendidikan sekolah menengah (HBS) dan tinggal dirumah HOS Tjokroaminoto, ia mengenal pemikiran politik dan belajar berorganisasi di Tri Koro Darmo atau Jong Java. Di Bandung Ia berkenalan dengan “nasionalisme”, salah satu ideologi besar pergerakan kala itu dari tokoh-tokoh Indische Partij.
Tahun 1927 tepatnya di usia 27 tahun, Soekarno mendasarkan lagi ide persatuannya, dengan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Barangkali itu merupakan upaya Soekarno, meminjam istilah dari Antonio Gramsci sebagai upaya membangun historical block (blok sejarah), menyatukan yang berserak, terfragmentasi, dan partikular dalam sebuah cita-cita baru Indonesia Merdeka.
Segera setelah berdirinya PNI, Soekarno dapat dikatakan sebagai sosok paling sentral di kalangan pergerakan Bumiputera. Soekarno berada di tengah massa menghimpun, mengorganisasikan dan membentuk kekuatan mereka.
Proses yang ia sebut sebagai machtvorming ini, dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain, pertama, dimulai dari propaganda tentang tujuan, asas atau pandangan yang mendasari pergerakan untuk memberi pemahaman kepada rakyat agar meyakini untuk berhimpun dan menyusun kekuatan. Kedua, pada saat tenaga rakyat telah terhimpun, dimulai tahap berikutnya yakni melaksanakan rencana kerja yang telah disusun. Rakyat mulai digerakan untuk menyusun serta memperluas organisasi kekuasaan dan proses pendidikan bagi tumbuhnya kesadaran baru rakyat. Dan ketiga, sebagai tahapan terakhir adalah mendesakan tuntutan-tuntutan dalam sebuah pergerakan massa seluas-luasnya atau massa aksi.Ia menegaskan “Memang massa aksi itu selamanya radikal, selamanya berjuang menjebol keadaan lama dan membangun masyarakat baru”.
Menjebol dan Membangun
Marhaenisme yang digagas Soekarno bersendikan tiga hal utama, pertama, sosionasionalisme, kedua, sosio-demokrasi, ketiga, Massa Aksi. Untuk mencapai tujuan dari sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, maka penyusunan kekuatan (machtvorming) melalui
“massa aksi” yaitu pergerakan massa rakyat yang sadar dan memahami tujuan perjuangan kaum marhaen untuk menjebol/membongkar kapitalisme/imperialisme dan membangun masyarakat baru. Penyusunan kekuatan rakyat yang “sadar” (bewust) dan radikal hanya bisa dilakukan: ”Dengan suatu partai !” kata Soekarno.
“Partailah jang memegang obor, partailah jang berdjalan di muka, partailah jang menjuluhi djalan jang gelap…Partailah jang memimpin massa itu di dalam perdjoangannja merebahkan musuh…Partailah jang harus memberi ke-bewust-an pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi keradikalan” (Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka 1933).
Paska-Orde Baru partai politik jadi alat kepentingan kekuatan oligarkhi dan belum mampu hadir sebagai representasi agenda politik dari berbagai kepentingan yang tumbuh di tengah masyarakat, jauh dari apa yang dicita-citakan Soekarno.
Sementara kekuatan masyarakat tidak memadai untuk tumbuh menjadi kekuatan politik dengan basis sosial yang kokoh untuk mendesakkan agenda-agenda politiknya. Tugas partai politik ke depan menjadi lebih berat, sebagai partai yang berkhidmat kepada ajaran Soekarno rasanya perlu sejenak kita menengok ke belakang memeriksa kembali pekerjaan-pekerjaan yang sudah kita lakukan selama ini. Adanya kecenderungan antipati terhadap partai yang semakin meluas, menguatnya isu primodial-sektarian yang berpotensi besar menyuburkan ekstrimisme beragama dan ancaman munculnya totalitarianisme serta fundamentalisme pasar menjadi pekerjaan rumah serius yang harus disikapi.
Ancaman fasisme menjadi kenyataan didepan mata kita saat ini, bahkan sudah menggejala sampai ke daerah-daerah. Sekali lagi, karena bertemunya kepentingan antara elite politik nasional dan lokal dengan kekuatan-kekuatan konservatif dalam politik elektoral. Kepentingan tersebut berhubungan dengan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan menjaga keberlangsungan kemakmuran di lingkaran-lingkaran politik yang mereka kelola.
Waktunya bagi partai untuk mengambil kepemimpinan gerakan untuk melawan upaya-pembalikan arah demokrasi kembali menuju tatanan politik otoritarian bahkan totalitarian manakala satu mkekuatan politik tertentu menang dalam proses elektoral. Soekarno menyebut saat “historische momenten”, dimana akan lahir sebuah partai yang dianggap oleh massa. Waktunya bagi partai untuk membentuk dan mengkonstruksi gerakan, mempercepat jalannya proses natuur. Kita harus ingat bahwa kondisi fasisme dapat terbangun dalam konteks pelembagaan politik demokrasi dan pengalaman sudah mengajarkan itu.
Soekarno muda bergegas mengambil kepeloporan dan bahkan terus berjuang hingga akhir hidupnya mencari titik sambung antara kelompok-kelompok yang berselisih di masa lalu membangun sebuah konsensus bersama tentang prinsip dasar tujuan dari berdirinya Republik.
Tidak ada salahnya jika saat ini kita “menjebol” cara lama agar: “Pergerakan kita djanganlah pergerakan jang ketjil-ketjilan; pergerakan kita itu haruslah didalam hakekatnja suatu pergerakan jang ingin merubah,” kata Soekarno.
Dan “membangun” persatuan dengan menemukan chain of equivalency (rantai kesetaraan) diantara lapisan-lapisan masyarakat yang sejatinya menjadi bagian dari kaum Marhaen yang selama ini tersisih dan terpinggirkan. Waktunya memudakan semangat, kehendak dan tindakan kita.
“Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang…”
Pernah dimuat di majalah cetak Derap Juang edisi 01-2017
Komentar
Posting Komentar